Agama saya Kristen Protestan dengan iman berpusat pada Yesus Kristus sebagai Allah dan "Pengacara" saya kelak :D hehehe. Agama saya dimulai dari kecil, sedangkan iman saya dimulai dari kesadaran sendiri atas pengalaman yang mengubah 3 tahun yang lalu. Tapi, menurut pikiran saya tetap bahwa penyembah agama lain bukanlah penyembah yang "salah". Tuhan itu satu dan semuanya ingin menyembah Tuhan yang satu-satunya itu. Walaupun menyebut dan menggunakan pendekatan yang berbeda, tidak dapat dijadikan untuk menjustifikasi seseorang itu "salah" menurut saya. Saya tidak tahu kriteria orang dibilang "salah" itu apa, karena saya bukan Tuhan/Allah ye dan kriteria penilaian itu hanya ada di rahasia Tuhan. Jadi, paling maksimalnya, saya hanya bisa melihat hubungan horisontal keagamaan ini adalah soal "keberuntungan" seorang manusia yang dianugerahi kesempatan untuk mengenal Allah yang Benar dari sekian allah2 lain. "Keberuntungan" disini bukan masalah ketidaksetaraan. Semua manusia pasti setara mempunyai kesempatan mengenalNya dengan benar, yang diberikan oleh Tuhan. Tapi, bedanya soal respon dan sensitivitas kita tentang siapa Pencipta. Seperti yang kita, semenjak jatuh dari dosa, di agama manapun dijelaskan, manusia menjadi tidak sensitif mengenal Allah lagi di dalam hubungan yang sempurna; begitu juga dgn hakekat awal dirinya.
Sebagian besar orang tua menerapkan agama ke anak-anaknya sejak dini. Suatu hal yang penting agar pada akhirnya anak2 terbentuk menjadi seseorang yg mengandalkan Tuhan, tidak menjadi manusia yang keblinger sbg ciptaan, dan tidak "merepotkan" orang lain. Namun, ternyata cara mengajarkan agama itu jauh lebih sulit daripada mengajarkan Matematika. Keagamaan menurut sy berlangsung dengan baik jika ada tiga hal, 1) Anak tersebut percaya kepada Tuhan, 2) Menjalankannya dengan tulus tanpa paksaan, 3) Mampu menerima agama lain tanpa merendahkannya.
Pendidikan agama itu sendiri tidak hanya seputar ilmu teologis agama, namun seyogianya juga harus mendidik satu sama lain untuk saling menghargai. Kalau tidak ada konsep saling menghargai di dalam agama, berarti tidak ada kedamaian dan buat apakah agama klo begitu kan yah? Sisi saling menghargai ini paling sulit diterapkan dikarenakan setiap agama pasti memiliki kepercayaan bahwa agamanya yang paling benar. Itu suatu proses kausalitas dimana hal sulitnya tercapai "saling menghargai" ini sudah konsekuensi otomatis dari doktrin kebenaran masing2 agama. Dapat dimaklumi. Lanjut lagi, ego tentang agama itu kemudian berkembang / menular ke sisi2 kehidupan yang lain, misal dalam hal pertemanan (mencari peer/kelompok untuk tempat bertumbuh), pekerjaan (mencari guru ber-Islami, guru yg sudah lahir baru dsj), dll. Hal ini dikarenakan setiap agama memang diwahyukan untuk mengarahkan manusia bagaimana menjalani hidup.
Tetapi, menurut saya, sebenarnya ada satu hal di hidup yang tidak terpengaruh oleh perbedaan agama dan iman, yaitu hal cinta dan perkawinan. Kalau udah cinta, ya org tersebut ga ngebedain2 orang yang dicintainya itu. Tetapi, orang tua / keluarga sekeliling seringkali suka heboh sendiri dan tidak memperbolehkan anaknya nikah dengan calon pasangan yang berbeda agama dan iman. Mau anaknya udah cinta mati atau udah berpacaran 10 tahun, tetap saja orang tuanya melarang dan mengekang anaknya seakan2 anaknya belum pantas mengambil keputusan dgn dewasa dan tidak memikirkan konsekuensinya. Alasan melarang ini bisa karena agama melarang, kasihan pada keturunan mereka nantinya yang akan bingung memilih agama mana, anaknya ntar bingung dengan konsep keimanan/Ke-TUHAN-an yang benar, hingga alasan negara melarang (penafsiran pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan No 1/1974).
Tetapi lucunya, bersamaan dengan larangan itu, keluarga/orang tua memberikan juga klausul lain ke anaknya kalau boleh menikah asal calon pasangan anaknya pindah agama! Jujur, dari dulu saya bingung dengan hal itu! Di satu sisi, mereka mengatasnamakan larangan agar tidak berpaling kepada Tuhan, tetapi di sisi lain mendorong orang lain utk memalingkan mukanya dari kepercayaannya kepada Tuhan. Jadi, terkesannya seperti tega "mendorong calon pasangan anak untuk melangkahi Tuhan demi manusia" dan "melepas Tuhan-nya demi ego sendiri".
Melalui entri ini, saya tidak mendorong pro-pernikahan beda agama dan iman. Saya sendiri tetap meyakini bahwa pernikahan itu hendaknya dengan yang seiman. Karena, pernikahan bukan hanya soal pertalian 2 orang atau 2 keluarga saja, tetapi juga dengan Tuhan. Di konsep pernikahan Kristen sendiri, tujuannya adalah untuk memuliakan Tuhan juga dari pernikahan. dan saya ingin pernikaha saya nantinya juga bisa dapat memuliakan Tuhan dan memberi contoh yg benar. Saya tetap mencari pasangan sesama Kristen yang seimbang, yang bisa dibawa bekerja sama untuk memuliakan Tuhan di dalam pernikahan dan membawa testimonial yang benar dan baik itu ke luar.
Tetapi, tidak bisa diindahkan, ada kasus2 dimana mmg ada dua insan manusia yang berbeda agama & iman saling jatuh cinta (setelah dipikirkan berulang2, tetap ga bisa dipisahkan). Lantas apakah agama disini akan tetap ditempatkan menjadi hal di atas cinta? Apakah tidak ada kemungkinan, bisa saja kita manusia sudah mendahului keputusan Tuhan disini? Maksudnya, saya berpikir bahwa selain soal cinta, hal hubungan pernikahan juga harus dikaitkan dengan rencana Tuhan. Walaupun memang ada konsep pre-destinasi dan free will, tetap tidak mengubah fakta bahwa saya dan anda tidak mengetahui gambaran besar dari hal hubungan/pernikahan. Misalnya, bisa jadi kisah cinta saya nanti menjadi :
1) The one saya adalah orang yang berbeda iman, tetapi dgn freewill saya, saya mutuskan utk menikah dengan orang seiman yg kurang terlalu saya cintai,
2) The one saya adalah orang yang berbeda iman dan saya menikah dengan dia di dalam suatu kerjasama/pengertian yang dewasa (mksdnya sm2 melihat dewasa bahwa masalah spritual ini sbg suatu hal yg privat yang tidak dapat diintervensi oleh pernikahan sekalipun)
3) Saya beruntung mendapatkan orang yg saya cintai itu di dalam satu iman yang sama :)
Jadi, selain mempertimbangkan soal faktor cinta, menurut saya juga harus mempertimbangkan apa ini rencana Tuhan atau tidak. Hal hubungan berbeda agama ini, menurut saya, apakah tidak mungkin menjadi rencana Tuhan untuk memberi contoh ke manusia2 yang menikah seagama mengenai "Ini loh yg beda agama aja harmonis banget, kenapa kalian ga bisa?"..? Dalam menulis hal barusan, saya udah pikirkan segala opsi untuk mencegah tidak adanya unsur pembenaran diri. Tetapi, pada akhir pertimbangan saya, saya tetap cenderung meyakini bahwa tidak ada yang tidak mungkin di rencana Tuhan. Klo diaplikasikan ke saya sendiri, jika memang pasangan menikah saya nanti berbeda agama dan iman, saya akan mempertimbangkan alasan rencana Tuhan juga, dimana sebelum memutuskan, saya akan melalui proses pemikiran yg lebih dalam dari seharusnya dan mungkin akan "mengancam" Tuhan sperti ini LOL :
Klo mmg ini rencanaMu, biarkan rencanamu terjadi. Klo mmg bukan rencanaMu dan hanya keinginan kami belaka, biarkan dalam jangka waktu ini hingga pernikahan kelak, terjadi rencanaMu untuk memisahkan kami, baik itu besar & signifikan detectable. Kalau Tuhan tidak menunjukkan suatu rencana yg signifikan detectable untuk memisahkan kami, jangan meminta pertanggung-jawaban lagi dari kami nanti ya Tuhan mengenai alasan kenapa kami menikah" ;) hehehe
Klo mmg ini rencanaMu, biarkan rencanamu terjadi. Klo mmg bukan rencanaMu dan hanya keinginan kami belaka, biarkan dalam jangka waktu ini hingga pernikahan kelak, terjadi rencanaMu untuk memisahkan kami, baik itu besar & signifikan detectable. Kalau Tuhan tidak menunjukkan suatu rencana yg signifikan detectable untuk memisahkan kami, jangan meminta pertanggung-jawaban lagi dari kami nanti ya Tuhan mengenai alasan kenapa kami menikah" ;) hehehe
Saya cuma berpikir utk hal ini, utk semua pihak, tolong pikirkan hal-hal di atas. Utk memperhatikan sisi Tuhan, tidak hanya sisi sendiri. Hal pernikahan ini tidak soal dua orang / keluarga saja, tidak hanya mengenai sisi larang-melarang dan mudah menjatuhkan keputusan berdasarkan ajaran agama plok semata (ngikut aja tanpa dipikirin esesinya apa), tetapi juga mengenai pertanggungjawaban ke Tuhan nantinya (baca: anak menjadi orang yg tidak patuh ke orangtua, anak yg mengecam ortu sendiri dll).
Hal hubungan/pernikahan beda agama jauh lebih besar dari yang kelihatannya. Jangan cepat mengambil keputusan yang tidak matang, apalagi sampai saling menjustifikasi / saling menyakiti hati satu sama lain. Seyogianya pernikahan itu untuk damai kan, tidak hakekatnya menyebabkan orang tua dan anak sampai gontok2an. Cari pilihan jalan yang benar2 damai, pasti ada.
Teruntuk seorang teman.